ELASTISITAS PANAS BASAL = KUNCI STAMINA AYAM LAGA
Ayam laga sudah
dikenal masyarakat Nusantara sejak berabad-abad lalu. Setidaknya hingga akhir
abad ke-19, ayam laga menjadi simbol status di kalangan para raja, bupati, dan
bangsawan. Singkat kata, dunia ayam laga telah menjadi bagian budaya nasional
kita. Namun sayang, jika dahulu para raja, bupati, dan bangsawan menjadikan
ayam laga sebagai sarana pergaulan dan simbol status sosial, kini motivasi
tersebut telah jauh bergeser, yakni menjadi salah satu sarana perjudian belaka.
Namun demikian, berdasar pengamatan di lapangan, ternyata tidak semua hobiis
ayam laga suka dengan perjudian. Ternyata masih banyak yang tetap setia pada
motivasi warisan leluhur, apalagi kalau bukan kebanggaan !
Seperti halnya atlet,
ayam laga diperlakukan sedemikian rupa agar tetap sehat dan kuat. Untuk itu,
para peternak atau hobiis memberikan berbagai asupan seperti makanan yang
bergizi plus suplemen penambah stamina, tidak lupa diterapkan perlakuan latihan
otot, penjemuran, dll.
Semua pemberian
asupan dan perlakuan di atas adalah pemberian dan perlakuan standar yang umum
diketahui oleh para peternak atau hobiis. Saya yakin, masih banyak yang belum
menyadari pentingnya mengatur tingkat panas basal dan hubungannya dengan
ketahanan stamina ayam laga di kalang.
Seperti telah umum diketahui,
pada saat aktivitas olahraga, faktor penambahan suhu badan berbanding lurus
dengan penambahan frekuensi detak jantung dan penambahan timbunan asam laktat
di dalam otot yang menyebabkan kelelahan. Semakin besar selisih pertambahan
panas tubuh, semakin cepat frekuensi detak jantung, dan semakin cepat pula
mencapai kelelahan. Dengan demikian, perlu suatu teknik agar pertambahan
(margin) panas tubuh tidak mencapai kisaran (range) yang terlalu lebar antara
pada saat aktivitas normal dan olahraga (tarung). Dengan kata lain, perlu upaya
untuk menaikkan panas basal tubuh ayam (yakni tingkat panas tubuh pada saat
aktivitas normal), atau mempertinggi tingkat elastisitas panas basal tubuh
tersebut.
Untuk meningkatkan
panas basal tubuh atau meningkatkan elastisitas panas basal, salah satu upaya
yang pernah saya lakukan adalah dengan mengatur tingkat suhu lingkungan dengan
cara menempatkan ayam pada lingkungan yang panas, misalnya mengganti atap
kandang genteng dengan atap seng, atau menempatkan ayam pada lingkungan tandus,
namun dengan ketersediaan ransum bergizi dan air minum yang terjamin. Pengaruh
perlakuan ini tidak serta merta dapat dilihat hasilnya dalam waktu yang
singkat. Pada kasus saya, setidaknya ayam membutuhkan waktu tiga bulan untuk
beradaptasi secara fisiologis pada lingkungan ekstrem ini. Keberhasilan
perlakuan menaikkan elastisitas panas basal dapat dilihat dari penampilan fisik
ayam, yakni kebotakan alami pada bagian paha, dada, hingga leher.
Pada kasus pengamatan
saya, ayam hasil perlakuan penaikkan panas basal belum memerlukan
pendinginan/pembasahan/diairi pada pertarungan 2 x 15 menit. Pada 2 x 15 menit
itu, nafas ayam sama sekali tidak terengah-engah, pergerakan tetap lincah,
tetap segar seperti layaknya sebelum pertarungan!